Tuesday 5 August 2014

Fanfiction : Handcuff Love #2

Part 2

Mentari bersinar cerah menembus kaca jendela kamar bernuansa pink itu, yang di dalamnya masih tertidur lelap seorang gadis berusia petengahan 17 tahun. Cahaya matahari tepat memancar ke arah wajahnya namun itu sama sekali tidak mengusik tidurnya.

Teet~ treett~ teet... teet... teet...~~

Suara dering handphone menggema di seisi ruangan. Dan akhirnya suara itu berhasil mengganggu tidur nyenyak Giselle. Tangannya meraba-raba ke samping bantal untuk menggapai hp yang berdering itu. Dengan mata yang masih setengah terbuka ia menatap layar hp nya. Panggilan masuk dari Stefany--teman sekaligus managernya. Kemudian Giselle menjawab panggilan itu.

"Halo?" Suaranya terdengar parau sekali, maklum baru bangun tidur dan rohnya juga belum terkumpul semua.

"Giselle kau dimana? Kau lupa hari ini ada pemotretan untuk majalah Popteen?" Tanya Stefany di seberang sana.

Giselle masih uring-uringan di tempat tidurnya pun menjawab, "Iya ingaatt." Giselle sengaja memanjangkan kata ingat. Heran, ini sudah yang kesekian kali Stefany selalu mengingatkannya soal itu, ia kan tidak pikun pikir Giselle.

"Nah kalau begitu cepatlah kemari, kutunggu kau di studio."

"Hah? Ini kan masih kepagian Fany."

"Pagi di Hongkong! Kau sadar ini sudah jam berapa?"

Lalu Giselle melirik ke arah jam dinding. Eh ternyata sudah jam 9.30 memang masih tergolong pagi sih, tapi seharusnya jam seitu ia sudah berada di studio. Kenapa dirinya bisa kesiangan begini.

"Cepat kemari," kata Stefany lagi.

"Iya. Ini on the way," ngakunya otewe padahal mandi aja belom. Kemudian sambungan telpon dimatikan dan Giselle langsung ngacir ke kamar mandi. Saat berjalan menuju kamar mandi tiba-tiba kaki kanannya menginjak sesuatu. Rasa sakit langsung menjalari kakinya.

"Aaww!!" Pekik Giselle lalu mengusap-ngusap telapak kakinya yang terasa sakit. Rupanya ia menginjak jimat-jimatan yang kemarin dilemparnya sembarangan. Jimat itu kan berisi pecahan borgol yang lumayan tajam, jelas saja sakit kalau terinjak. 

Giselle makin murka dengan jimat itu. Ditendangnya Jimat itu sampai menghilang dari pandangannya.

"Jimat sialan." Umpatnya lalu kembali berjalan menuju kamar mandi sambil berjinjit karna kakinya masih sakit.

***

Alex berusaha menghubungi Giselle tapi sama sekali tidak dijawab. Pasti Giselle sengaja tidak menjawab telponnya. Alex tau Giselle masih marah gara-gara insiden kemarin. Argh, ini akibat ulah Samantha yang tiba-tiba nyosor menggodanya, persetan dengan gadis itu. 

Jangan sampai masalah ini membuat hubungannya dengan Giselle berakhir. Tidak! Alex belum rela kalau sampai harus berpisah dengan Giselle gadis pujaan hatinya.

Alex mencoba menelpon Giselle lagi, tapi hasilnya sama tetap tidak ada jawaban. Daripada repot-repot menelpon lebih baik langsung menemuinya saja. Alex pun cap cus menuju kediaman Giselle.

***

"Ada masalah apa? Dari tadi kau tidak fokus," tanya Stefany pada Giselle. Selama jeda shooting dilihatnya Giselle hanya duduk melamun saja dengan posisi tangan menopang dagu.

Giselle menoleh sebentar, "tidak ada apa-apa," ujarnya yang jelas sekali ucapannya barusan sebuah kebohongan.

"Kau pikir bisa membohongiku? Pasti ada masalah dengan pacar pembalap-mu itu."

Giselle tercengang, "Kau bisa baca pikiran ya?"

"Ayo lah Gisella, memangnya aku baru mengenalmu kemarin hah? Aku sudah hafal sifat-sifatmu itu!" Fany selalu bisa menebak masalah Giselle. Status Fany memang sebagai manager, Fany juga 5 tahun lebih tua dari Giselle dan ia sudah menganggap Giselle seperti adiknya sendiri.

Giselle manarik nafas dalam-dalam, "ya kau benar Fany. Memang masalah itu."

"Jadi apa yang ia lakukan padamu sampai membuatmu jadi seperti orang bodoh yang melamun seharian ini?"

"Dia jahat Fany. Dia selingkuh! Aku memergokinya berduan dengan seorang gadis di dalam kamarnya sendiri. Uurgh! Menyebalkan!" Giselle bercerita dengan meremas-remas tangannya seolah ingin mencekik seseorang.

"Selingkuh? Halah, aku tidak kaget," kata Fany menyepelekan omongan Giselle. "Kau dengar ya, semua cowok itu memang begitu. Jaman sekarang jarang banget menemukan cowok yang setia sehidup semati. Apalagi pacarmu itu kan seorang rider pasti banyak digilai wanita, kalo gak kuat iman ya pasti selingkuh."

"Jadi apa yang harus kulakukan? Sebenarnya aku masih sayang padanya tapi... tapi...," omongan Giselle tersendat-sendat, mata biru safirnya sudah berkaca-kaca menahan tangis.

"Sudah, jangan nangis, lebay ah! Kau itu seorang model yang sedang naik daun, kau bisa dapat pacar yang lebih dari dia seperti aktor atau penyanyi selevel Justin Bieber."

Mendengar nama JeBe, Giselle malah mewek, "Tapi aku tidak suka Justin Bieberrr!"

Stefany menepuk jidatnya, "ya ampun... itu cuma perumpamaan! Jangan artikan seolah kau harus pacaran dengan Justin Bieber juga kalii." Akhirnya Stefany meninggalkan Giselle sendirian.

***

Giselle tidak ada di kediamannya tapi dengan sabarnya Alex menunggu kepulangan gadis itu. Sudah berjam-jam Alex menunggu di depan pintu apartemen Giselle.  Menunggu memang hal paling membosankan di dunia, tapi biarlah demi meluruskan masalah antara dirinya dan kekasihnya Alex rela menunggu bahkan sampai esok pagi dan esok paginya lagi dan esok paginya lagi.

Terlalu lama menunggu Alex pun mulai jenuh dan menyandarkan tubuhnya di pintu. Sesekali berberganti posisi dari berdiri hingga berjokok lalu mulai mondar-mandir tidak jelas. Sesekali Alex mengintip di lubang kunci, jangan-jangan Giselle ada di dalam dan sengaja tidak membukakannya pintu. Tapi di dalam kosong tidak ada siapa-siapa, Giselle memang sedang tidak di rumah. 

Lagi asyik intip-mengintip Alex tidak sadar kalau ada seseorang berdiri di belakangnya.

"Woy! Maling ya?!" 

Alex menoleh kebelakang. Ternyata berdiri seorang pria berbadan besar dan berkumis tebal, dari pakaiannya bertuliskan security. Pria itu memelototi Alex sambil berkacak pinggang.

"Tidak. Enak saja ngatain saya maling," elak Alex.

"Kamu ngapain intip-intip pintu orang? Seperti pencuri saja!" 

"Cuma memastikan ada orang di dalam atau tidak."

"Terus setelah memastikan tidak ada orang, kamu mau congkel pintunya dan mencuri barang-barang di dalam?! Begitu kan?!" Si satpam masih saja mencurigai Alex sebagai maling.

"Nggak lah! Saya bukan maling! Ini tuh rumah pacar saya, saya lagi nungguin dia pulang."

"Alasan! Sana pergi!" Alex pun diusir dengan tidak hormat. (?)

***
Seperjalanan Alex mengumpat-ngumpat mengutuki satpam yang sudah mengusirnya seenaknya.
Hari mulai senja. Lalu Alex duduk di bangku yang ada di trotoar sambil mengotak-atik ponselnya. Menelpon Giselle lagi, siapa tau kali ini diangkat.

Teet~ treett~ teet... teet... teet...~~

Tepat di belakangnya Alex mendengar suara ponsel seseorang berdering. Alex melirik ke balik punggungnya. Didapatinya seorang gadis juga sedang duduk di kursi yang sama dengannya, kursi itu memiliki dua arah jadi posisi mereka sekarang saling memunggungi. Alex tidak melihat wajah gadis itu, tapi hanya dengan melihat punggung dan rambut pirang yang tergerai panjang itu Alex sudah mengenali siapa dia. Dialah gadis yang sedari tadi ditunggunya dan yang telah ditelponnya berulang kali.

"Hei! Kenapa tidak diangkat?!" Seru Alex pada gadis yang memunggunginya itu.

Giselle sedikit terkejut, dari belakangnya ia mendengar suara seseorang yang sudah tidak asing lagi, suaranya ngebass khas seperti suara Alex. Kemudian ia menoleh kebelakang dan benar saja ternyata memang Alex lah yang berada di belakangnya.

Mata mereka bertemu saling bertatapan dan masing-masing dari mereka terdiam tanpa sepatah kata pun.

"Bisa kau hentikan panggilannya? Untuk apa menelpon dengan jarak sedekat ini?" Giselle menunjukan ponselnya yang masih berdering itu tepat di depan wajah Alex. Ternyata Alex sampai lupa menggentikan panggilannya.

"Sejak kemarin aku menelponmu kenapa tidak pernah kau jawab?"

"Untuk apa kau menelponku?! Kenapa tidak kau urusi saja gadis berambut merah itu!" Yang dimaksud Giselle 'gadis berambut merah' adalah Samantha. Giselle tidak tau siapa nama gadis yang kemarin bersama Alex, yang ia ingat hanya rambutnya saja berwarna merah.

Giselle berbalik lagi memunggungi Alex.

"Sudah kubilangkan aku dan Sam tidak ada apa-apa!!!" Alex jadi emosi karna Giselle terus-terusan tidak mempercayainya.

"Alex, aku tidak suka kau meninggikan suaramu seperti itu!" Bentak Giselle jadi sama-sama emosi.

"AKU TIDAK MENINGGIKAN SUARAKU!!" Ucapan berbeda dengan yang diperbuat, nyatanya Alex memang semakin meninggikan suaranya.

Pertengkaran pun terjadi di depan umum. Untungnya hari sudah mulai senja jadi sudah jarang ada orang lalu lalang.

"Bodoh, kenapa kau malah emosi begitu?! Seharusnya yang marah itu aku karna kau sudah mengkhianatiku!!"

"Bagaimana caranya agar membuatmu percaya padaku? Sudah kukatakan berkali-kali itu cuma kesalahpahaman!!"

"Apanya yang salah paham?! Aku paham sekali kau bermesraan dengannya di kamarmu!!"

"Tidak! Aku tidak melakukannya!"

"Iya! Kau melakukannya tepat di depan mataku!"

Keduanya berteriak dan bersikeras saling mengencangkan urat leher.

"Tidak!!"

"Iya!!"

"TIDAK!!"

"IYAA!!"

"Howeekk! Howeekk! Howeekk!"

"TID... Eh? Suara apa tadi?"

"Seperti suara bayi menangis." Mereka berdua celingukan mencari asal suara tersebut.

"Dari balik semak," Alex menunjuk sebuah semak kemudian berjalan menuju semak itu diikuti oleh Giselle.

"Oh my... siapa yang meninggalkan bayi di sini?"

Dari balik semak-semak mereka menemukan bayi sekitar berumur 3 bulan yang hanya dibungkus selembar selimut tergeletak di tanah. 

Bayi itu masih terus menangis. Giselle menggendong bayi itu dan ditimang-timang.

"Cuma orang jahat yang meninggalkan bayi sendirian di sini," kata Alex.

"Tega. Kasihan sekali dia..."

"Kita telpon polisi saja, bilang kita menemukan bayi." Alex pun mengeluarkan ponselnya untuk menelpon polisi.

"Tidak. Jangan telpon polisi dulu," kata Giselle menghentikan Alex.

"Kenapa?"

"Hari sudah mulai gelap, kita bawa ke rumahku dulu ya. Kasihan dia kedinginan."

Alex menurut saja dan mereka pun menuju ke kediaman Giselle.

 ***

Giselle merebahkan bayi yang baru ditemukannya itu di ranjangnya. Alex dan Giselle duduk di sisi kiri dan kanan sang bayi, seketika masalah diantara mereka jadi terlupakan. Mereka berdua memperhatikan bayi itu dengan seksama. Bayi itu sudah berhenti menangis, ia pun memperhatikan dua manusia di hadapannya dan tangannya menggapai-gapai udara. 

"Bukan kah dia sangat lucu Alex?" 

Alex mengangguk saja.

Giselle menyentuh tangan bayi itu dan bayi itu balas menggenggam jari Giselle. "Ah, tangan mungilnya menggenggam jariku. Kau mengajakku berkenalan ya bayi kecil?" Kata Giselle pada bayi yang masih belum bisa bicara itu. 

Kemudian bayi itu memasukan jari Giselle ke mulut kecilnya seolah ingin menyedot botol susu. Cepat-cepat Giselle menarik tangannya kembali.

"Dia pasti haus. Belikan dia susu Alex!" Perintah Giselle.

"Beli susu? Kenapa tidak diberi ASI saja? Kudengar ASI bagus untuk bayi."

"ASI memang bagus, tapi mau dapat ASI dari mana?"

"Kau kan perempuan, pasti punya ASI kan?" Tanya Alex polos.

"Bodoh! Wanita yang tidak melahirkan mana ada ASI!" Giselle menyaringkan suaranya membuat bayi itu terkejut dan menangis.

"Oowek! Oowek!" Suara tangisan itu membuat Alex dan Giselle jadi panik.

"Cup cup cup... jangan nangis yaa..." Giselle menggendong dan menimang-nimang bayi mungil itu.

"Jangan menangis... jangan menangis..." Alex membuat ekspresi wajah aneh di hadapan sang bayi dengan menjulur-julurkan lidah untuk membuatnya berhenti menangis, tapi bukannya berhenti tangisannya semakin menjadi-jadi.

"Hooweeek!! Hooweeek!!"

"Kau malah membuatnya takut! Sana cepat pergi belikan susu!"

Alex pun bangkit menuruti perintah pacarnya itu.

"Eh tunggu!" Cegat Giselle. "Sekalian beli popok dan botol susunya juga ya."

***

Alex sudah sampai di sebuah minimarket tapi ia bingung ada puluhan merk susu di hadapannya dan ia tidak tau harus membeli yang mana. 

Akhirnya Alex mengambil asal saja, diambilnya kotak susu formula yang ada gambar bayinya tidak mungkinkan ia mengambil susu yang bergambar ibu hamil.

Kemudian popok. Nah sekarang Alex tidak bisa membedakan antara mana popok untuk bayi dan pembalut untuk wanita. Hah? Alex memang jago dilintasan balap, tapi sama sekali tidak ahli dalam hal berbelanja seperti ini. Lagi-lagi Alex berpatokan pada gambar bayi, dicarinya pempers yang ada gambar bayinya.

Sekarang tinggal mencari botol susu. Hanya botol susu saja, kali ini Alex tidak kesulitan. Belanjaan telah lengkap, kemudian membayar ke kasir.

***

"Kenapa lama sekali? Marsha sudah kehausan," kata Giselle setelah Alex sudah muncul kembali ke hadapannya.

"Siapa Marsha?"

"Bayi ini lah."

"Kau memberinya nama?" 

Giselle mengangguk seraya tersenyum.

"Kenapa harus Marsha?"

"Habis dia lucu seperti di kartun Masha and the Bear," terang Giselle. 

"Kau gendong Marsha ya, aku akan membuatkan susunya." Giselle menyerahkan bayi yang sekarang bernama Marsha itu kepada Alex. Alex agak kesusahan karna ini pertama kalinya ia menggendong bayi sekecil itu.

Tidak lama Giselle kembali dengan botol susu yang telah terisi. Alex dan Giselle memperhatikan Marsha yang dengan lahap meminum susunya. Tanpa sadar memperhatikan bayi itu membuat perasaan mereka menjadi tenang.

Menemukan Marsha seperti mengulang kejadian 'borgol' di masa lampau, Marsha membuat  Alex dan Giselle seolah terborgol untuk menjaganya. Membuat mereka menjadi tidak terpisah karna harus merawat bayi itu bersama.

To be continued...


-------------------------
Ngaco ya? Kok ceritanya udah kayak spongebob & patrick mungut bayi kerang aja...

Padahal pengennya bikin giselle hamil terus itu anak mereka beneran, tapi gak jadi karna rasa gak tega menghantui diriku.

Thanks for reading ♥

4 comments:

  1. Udah kak Giselle-nya dibikin hamil aja biar Marsha ada temennya *ngaco*

    ReplyDelete
    Replies
    1. kamu baca cepet banget ya, baru juga di post udah ngoment aja... wkwk

      Delete