Tuesday 9 December 2014

FF Oneshot : There You'll Be

Main cast :
# Marc Marquez (himself)
# Arabella Rosabelle (imagine)
# etc...

Terinspirasi dari game Fatal Frame III : The Tormented

~♥~ 

When I think back on these times
 And the dreams we left behind  
I’ll be glad 'cause I was blessed to get to have you in my life 

Bumm Bruukk Braakk

Di tengah malam, suara dentuman-dentuman keras diciptakan oleh sebuah mobil sedan hitam yang terguling di aspal nan licin akibat guyuran hujan. Mobil yang ditumpangi pasangan pria dan wanita itu awalnya terpacu kencang sampai tiba-tiba bannya tergelincir hingga oleng dan kini berakhir ringsek di tepi jalan dengan posisi terbalik.

Sang wanita telah tergeletak di luar mobil, mungkin ia terpental keluar karena guncangan hebat dari mobil barusan. "Ugh," wanita itu mulai mendapat kesadarannya kembali. Tubuhnya kedinginan akibat guyuran hujan lebat. Ia mencoba bangkit berdiri meski pusing sekali rasanya. Pelipisnya berdarah dan beberapa luka lecet di sekujur tubuhnya.

Tertatih-tatih ia menghampiri mobil yang baru saja mengalami kecelakaan maut tersebut, mobil itu mengeluarkan asap dan bodynya telah benar-benar hancur gepeng tak beraturan. Ia bisa merasakan setiap tapakan kakinya berbunyi 'krek krek' akibat menginjak pecahan-pecahan kaca mobil yang berserakan di tanah.

Jarak pada mobil telah dekat, Wanita itu baru mendapati sang pria terbaring bersimbah darah di atas tanah, separuh tubuhnya terjepit di mobil.

Wanita cantik bersurai coklat itu bersimpuh di samping pria yang merupakan kekasihnya. Ia menepuk-nepuk wajah dan menggoncang-goncangkan tubuh sang kekasih berharap dapat membangunkannya. Namun apa daya sekeras apapun ia berusaha menyadarkan kekasihnya, pria itu tidak akan pernah bangun untuk selamanya.

"MAAARC!!"

~♥~

 When I look back on these days
 I’ll look and see your face  
You were right there for me 

"...Ra, Ara..." sayup sayup kudengar seseorang menyebut namaku. Perlahan kubuka kelopak mataku. Marc, dialah sosok yang kudapati di hadapanku. Raut wajahnya terlihat cemas. Setelah sadar sepenuhnya aku langsung bangkit dan kupeluk ia seerat mungkin.

"Kenapa? Mimpi buruk lagi?" Tanyanya sambil menenangkanku dengan mengusap lembut rambutku.

Tanpa sedikitpun melonggarkan pelukanku, aku mengangguk didekapannya sebagai jawaban.

"Kau bisa ceritakan mimpimu padaku," katanya lagi. Oh, Marc... hanya dengan mendengar suaramu sudah membuatku cukup tenang.

 "Aku takut menceritakannya Marc. Aku takut mimpi itu menjadi kenyataan."

Aku tak sanggup menceritakan mimpi burukku barusan. Mimpi yang selalu terulang setiap malam. Mimpi yang benar benar membuatku takut walau hanya mengingatnya sedetik.

"Dear, mimpi itu hanya bunga tidur," Ia mengangkat daguku agar aku menatap wajahnya. Senyum simpul terpampang di wajah tampannya.

Aku balas tersenyum, "kau benar."

"Hmm tapi sungguh, aku penasaran dengan mimpimu barusan," ucap Marc, tangannya bergerak menyeka pelipisku yang dibanjiri keringat.

"Sungguh ingin tau?"

"Tentu," jawab Marc dengan antusias.

"Mimpi itu sangat buruk. Kau yakin ingin mendengarnya?"

"Iyaa." Tampangnya sudah tidak sabar. Hihi aku suka melihat wajah penasarannya.

"Aku bermimpi kita mengalami kecelakaan Marc...," ceritaku pendek saja, aku menunggu bagaimana reaksi Marc.

Ia hanya menautkan kedua alis tebalnya. "Hmm..." hanya begitu reaksinya. Kemudian berkata, "mungkinkah itu pertanda akan jadi kenyataan?"

"Jangan bicara begitu Marc! Aku takut kehilanganmu..."

"Apakah aku mati di dalam mimpimu itu?" 

Aku mengangguk lemah.

"Ara, jangan takut. Biar aku mati sekalipun, aku tidak akan pernah meninggalkanmu..."

Deg. Jantungku berdetak lebih cepat saat Marc berkata seperti barusan. Aku terdiam menatap kedua bola matanya.

"Hahahaha kenapa? Wajahmu tegang sekali! Sudahlah, kubilang itu hanya bunga tidur." Tanpa aba aba ia langsung menggendong tubuhku. "Ayo kita ke bawah untuk sarapan."

"Aku bisa jalan sendiri Marc!!" Tanpa mendengar protesku, ia keluar kamar dan terus berjalan menuju dapur. Huh ya sudahlah.

~♥~

Enam bulan lalu aku dan Marc bertunangan, mulai saat itu kami memutuskan tinggal bersama. Kami berencana menikah tahun ini setelah pagelaran motogp musim ini berakhir.

Marc membeli sebuah rumah sederhana berlantai dua yang tempatnya tidak jauh dari kediaman orang tua Marc. Jujur saja rumah ini agak sempit, saat memasuki pintu utama kalian langsung dihadapkan dengan ruang tamu dan dapur sekaligus, dan di lantai dua hanya ada kamar kami. Tapi bagiku tidak terlalu masalah juga, karna rumahnya tidak terlalu besar aku jadi tidak repot membersihkannya. Marc bilang, rumah yang lebih mewah menyusul setelah kami menikah, katanya saat ini ia ingin menabung untuk biaya pernikan kami. Dasar Marc, aku yakin tanpa perlu menabung pun uangnya sudah cukup bisa membeli pulau dan tiga buah gunung sekaligus.

"Apa kegiatanmu hari ini Marc?" Tanyaku lalu duduk di meja makan, tanganku mengambil selembar roti dan mengolesnya dengan selai kacang.

Sedang Marc merebus air dan membuat susu coklat untuk dirinya sendiri, "latihan di dirt track bersama Alex dan Tito, bagaimana denganmu?" Katanya dan balik bertanya.

"Memotret gedung tua," Jawabku.

~♥~

Setelah rutinitas pagi seperti mandi, sarapan dan lain sebagainya selesai Marc sepertinya sudah bersiap berangkat.

"Aku akan kembali sebelum makan malam," setelah Marc berkata seperti itu, kemudian...

cups.

Bibirnya mengecup keningku.

"Hati-hati," kataku.

Ia menjawab dengan senyuman dan melambaikan tangan.

Di ambang pintu aku terus memperhatikan punggung Marc yang berjalan menjauh. Marc hanya berjalan kaki menuju rumah lamanya karena semua perlengkapan dirt tracknya ada di sana. Yah bagasi rumah ini tidak cukup muat untuk menampung segala perabotan balap milik Marc.

Sampai Marc menghilang dari pandanganku, setelah itu baru aku masuk ke dalam. Aku pun bersiap memulai kerjaku.

~♥~

Aku sangat senang mengabadikan moment indah dalam sebuah gambar. Karena kesenanganku dengan dunia fotografi, aku bekerja sebagai photographer freelancer. Beberapa hari lalu di tepi pantai pinggiran kota aku menemukan tempat yang bagus untuk objek gambarku. Sebuah gedung tua dengan arsitektur klasik khas Eropa.

Aku pergi berdua dengan rekanku Amanda. Saat ini Amanda duduk di kursi kemudi, membawa kami menuju tempat itu.

Sebelum memasuki kawasan gedung, kami melewati pagar beton setinggi 4 meter yang telah banyak di tumbuhi lumut. Pintu pagar sama sekali tidak ditutup--mungkin memang sudah tidak bisa tutup saat mataku melihat engsel pintunya sudah terlepas dan berkarat membuat mobil Amanda dengan mudah menerobos masuk menuju halaman gedung.

Aku segera keluar dari mobil setelah Amanda memarkirkan mobilnya. Kuperhatikan sekeliling gedung tua yang berdiri kokoh di hadapanku. Gedung megah berlantai empat dengan patung elang di puncak atapnya. Namun terlihat angker bahkan pada siang hari seperti ini, catnya sudah kusam dan telah ditumbuhi tanaman merambat, kaca jendelanya pun pecah-pecah dan ditambal dengan papan kayu.

"Hei! Kenapa diam saja? Bantu aku membawa tas-tas ini!" Suara Amanda membuyarkan lamunanku. Ia terlihat kesusahan membawa seambrek perlengkapan foto kami.

"Ah iya."

Pintu utama gedung ini setinggi 3 meter dengan ukiran-ukiran di sudutnya. Aku sudah meminta izin pada pengurus gedung dan meminjam kuncinya.

Klek. Pintu terbuka.

Keadaan di dalam pun hampir sama dengan di luar sama-sama terlihat angker. Penuh debu dan sarang laba-laba. Sebagian lantainya telah berlubang. Begitu banyak barang di dalamnya, ada sofa yang di tutupi kain, rak yang dipenuhi buku dan beberapa lemari-lemari. Suasananya horror, tapi memang ini lah yang kucari.

Jpret. Jpret.

Aku memotret banyak obyek. Sampai aku memotret sebuah ruangan.

Aku bersiap menekan tombol untuk mengambil gambar. Aku terkejut. Setahuku gedung ini kosong tak berpenghuni, namun melalui kameraku sosok seseorang terambil dalam gambar. Aku meneliti gambar itu 
lebih jelas. Aku lebih terkejut lagi saat mengenali siapa sosok itu.

"Marc?"

Apakah hanya imajinasiku? Tidak mungkin Marc mengikutiku sampai kesini. Bukankah Marc sedang berada di dirt track-nya. Kemudian aku menurunkan kameraku, untuk melihatnya langsung dengan mataku. Ternyata kameraku tidak salah, dengan mata telanjang pun aku memang melihat ada seseorang berdiri menyamping di ambang pintu sana. Walau hanya terlihat dari samping, aku meyakini itu memanglah sosok Marc. Wajahnya pucat dan kulitnya lebih putih dari biasanya. Apakah benar dia adalah Marc?

Orang yang kuyakini adalah Marc itu sekilas melihat ke arahku sebelum ia berbalik dan menghilang di balik lorong.

"Tunggu Marc!" Aku segera berlari mengejarnya.

Dilihat dari punggungnya aku mengenali dia memang Marc. Ia terus berjalan dengan sangat lambat, namun anehnya sama sekali tak terkejar olehku walau aku sedang berlari.

Cukup lama aku terus mengejarnya, berbelok kesana kemari di lorong yang hanya diterangi oleh biasan cahaya matahari dari sudut jendela-jendela tua. Aku sanksi masih ingatkah aku jalan menuju pintu keluar. Tapi aku tidak peduli, kakiku seolah memiliki pikiran sendiri untuk terus berjalan mengikuti langkah kaki Marc.

"Marc!!" Aku terus memanggil namanya, namun sama sekali tak di hiraukan.

Kemudian Marc berbelok ke arah kanan. Dari tadi yang kulakukan hanya terus mengikutinya, aku pun juga ikut berbelok ke arah kanan. Namun kali ini langkahku terhenti karna yang kudapati hanyalah lorong buntu dan tidak ada Marc di sana. Aku ketakutan dan kebingungan, kemana sosok Marc yang kukejar beberapa saat yang lalu? Mungkinkah Marc yang tadi memang hanya imajinasi-ku?

Aku mencoba berpikiran logis. Marc yang tadi kulihat pasti hanya sosok khayalan. Sangat tidak mungkin Marc ada di sini. Aku berbalik menuju ketempatku semula. Di saat menemukan lorong dengan empat simpangan, aku lupa harus mengambil jalan yang mana. Sial, aku benar-benar tidak ingat. Seandainya di sini ada peta.

Tap. Tap. Tap

Dari belakang aku mendengar suara langkah kaki mendekat ke arahku. Aku berharap itu adalah Amanda yang datang mencariku. Aku berbalik untuk melihat siapa orang di belakangku.

Wuushh.


Jantungku terasa hampir melompat keluar saat tiba-tiba sebuah kapak melayang ke arahku.

"KYAAA!!"

Refleks aku langsung menjerit dan berhasil menghindar. Andai aku tak berhasil menghindar, sekarang pasti tubuhku sudah menjadi mayat tanpa kepala.

Kapak itu pun menancap pada dinding.

Orang yang barusan mengayunkan kapak padaku itu mengenakan jubah hitam yang menutupi sekujur tubuhnya, membuatku sama sekali tak melihat wajahnya, entah dia laki-laki atau perempuan. Siapa orang ini? Kenapa ia ingin membunuhku?

 Sementara orang itu berusaha mencabut kapaknya, aku segera lari secepat mungkin.

Aku sangat ketakutan sekarang. Orang itu mengejarku dengan tangan menggenggam kapak yang bersinar tajam. Ya Tuhan, apa salahku? Apa ini adalah akhir hidupku? Berakhir dengan tubuh dimutilasi? Aku tidak mau!

Nafasku sudah tersengal-sengal, keringat dingin berjatuhan, meski lelah aku terus berlari. Aku menoleh ke belakang, ternyata orang itu tidak ada. Syukurlah, mungkin ia sudah tertinggal. Tapi aku harus tetap berlari meninggalkan gedung ini.

Baru beberapa langkah ternyata orang berjubah dengan kapak itu ada di hadapanku. Astaga, melihatnya membuat tubuhku gemetar. Ia berlari ke arahku dan bersiap mengayunkan kapaknya lagi padaku. Aku langsung berbelok ke lorong sebelah kiri dan berlari secepatnya.

Orang gila itu sangat gigih mengejarku. Aku sudah sangat lelah, aku tidak tau lagi bagaimana nasipku. Mungkin aku memang akan berakhir di sini.

Krek. Krek.

Aku menginjak lantai yang lapuk, dan...

Braaakk.


"KYAAAAAAAA!!!"

Seluruh tubuhku terjatuh bagai terjun ke dasar jurang yang dalam. Sangat dalam. Semuanya gelap tanpa setitikpun cahaya. Perlahan teriakanku meredam dan akhirnya tak terdengar lagi.

~♥~

Mati. Aku pasti sudah mati sekarang. Mati kehabisan nafas akibat terperangkap di dasar reruntuhan. Atau telah mati di mutilasi oleh orang tak dikenal itu. Yang jelas aku pasti sudah mati. Sejauh mata memandang hanya kegelapan yang kudapati. Sampai aku sadar kalau aku sedang menutup mata, lalu perlahan aku membuka kelopak mataku.

"Syukurlah kau sudah sadar Ara," kata Amanda menyambutku. Sungguh aku tidak percaya, aku mengira akan disambut oleh malaikat yang akan menanyaiku dan membawaku ke surga atau ke neraka karena kupikir aku sudah mati. Aku mulai memperhatikan sekeliling, akhirnya aku tau kalau aku sedang berada di rumah sakit.

Aku memegangi kepalaku yang terasa sedikit pusing, "aku masih hidup?"

"Tentu saja kau masih hidup. Dokter bilang kau hanya luka kecil saat terpeleset dari tangga gedung itu."

"Tidak Amanda, aku tidak terpeleset di tangga," kataku meralat perkataannya barusan. "Apa kau tau kalau di gedung itu ada seseorang yang mencoba membunuhku! Ia terus mengejarku dengan kapak di tangannya, dan aku terus berlari sampai aku menginjak lantai yang lapuk dan terperosok kebawah!"

"Hahaha!" Amanda menertawaiku, aku tidak mengerti apa yang ia tertawakan. Menyebalkan sekali dia!

"Apa yang lucu? Kau tidak prihatin padaku?!"

"Ara... apa kepalamu terbentur cukup keras? Kau ngelindur, tidak ada siapa-siapa di sana selain kita. Dan aku melihat di depan mataku sendiri saat kau terpeleset di tangga, bukan seperti yang kau ceritakan barusan. Itu pasti hanya khalusinasi-mu."

Apa ia bilang? Terpeleset di tangga dan berhalusinasi?

"Banarkah itu Amanda?"

"Iya mana mungkin aku bohong."

Apapun yang terjadi aku bersyukur aku masih hidup. Kemudian aku teringat satu hal. "Pukul berapa sekarang?"

Amanda melirik jam tangannya, "09.45 ㏘" katanya.

"Ah sudah malam. Marc pasti mencariku!"

"Ara, Marc kan sudah..."

"Amanda tolong antar aku pulang."

~♥~

Aku mengecek handphone-ku. Tidak ada pesan atau pun telpon masuk dari Marc, Kenapa ia sama sekali tidak mencariku yang pulang terlambat? Apa ia tidak peduli padaku? Apa yang sedang ia lakukan di rumah?

Di tengah lamunanku Amanda menghentikan mobilnya. Rupanya kami sudah sampai di depan rumahku. Aku pun turun dari mobilnya.

"Terimakasih sudah mengantarku Amanda. Kau mau mampir dulu?"

"Tidak, aku langsung pulang saja. Dagh," katanya lalu melajukan mobilnya.

Aku pun berjalan menuju pintu masuk. Saat kubuka knopnya, ternyata masih terkunci artinya Marc juga belum pulang. Tenang, aku masih bisa masuk karna kami masing-masing memegang satu kunci.

Saat masuk ke dalam aku langsung menyalakan lampu karna semuanya gelap tak satu pun lampu menyala. Kemudian aku merebahkan tubuhku ke sofa. Aku benar-benar mengalami hari yang berat hari ini. Aku sangat lelah, rasa kantuk menyerangku dan kemudian aku tertidur.

~♥~

BLEDAARRR

Suara sambaran petir yang menggelegar membangunkanku dari tidur lelapku. Rupanya di luar sedang hujan lebat. Aku pun tersadar, apa Marc sudah kembali?

Prang!

Terdengar suara benda jatuh dari arah dapur.

"Kau kah itu Marc?" Aku berjalan menuju asal suara. Saat aku tiba di dapur nyatanya tak ada apa pun atau siapa pun di sana.

Zraaassshhh

Tiba-tiba terdengar suara guyuran dari pancuran air di kamar mandi. Ah, siapa yang menyalakan sower?  Apa itu Marc yang sedang mandi? Kemudian aku menuju kamar mandi untuk menemukan jawaban siapa yang menyalakan sower itu.

Namun yang kudapati hanyalah sebuah kamar mandi kosong dengan air yang terus mengalir dari pancurannya. Segera kumatikan air yang terbuang mubajir itu. Aku benar-benar bingung siapa yang menyalakan sower barusan?  Apa menyala sendiri? Atau ini ulah Marc yang mencoba menakutiku?

"Lucu sekali Maarc! Jangan menakutiku!! Keluar dari persembunyianmuu!!" Tak ada sahutan sama sekali, yang terdengar hanya suara hujan yang turun sangat lebat di luar sana.

Aku menelusuri setiap ruangan di rumah ini. Kosong. Aku sendirian di rumah, sepertinya Marc belum pulang padahal jam sudah menunjukan pukul 11 malam. Jadi siapa yang menyalakan sower tadi?! Ahh lupakan masalah sower, 'mungkin kerannya sedang rusak' pikirku.

Masalah utamanya adalah dimana Marc sekarang? Sedang apa ia? Kenapa ia belum kembali juga? Aku meraih ponselku untuk menghubunginya. Tertengar nada tunggu, kemudian terdengar suara 'nomor yang anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar service area' apa? Tidak aktif? Apa batrainya habis?

Kemudian aku menghubungi Alex adiknya pasti ia tau dimana Marc.

"Halo?" Terdengar suara Alex di sebrang sana. Syukurlah ia menjawab telponku.

"Halo Alex. Apa kau tau dimana Marc? Apa kau bersamanya?"

"Tidak Ara, aku sama sekali tidak bertemu Marc hari ini."

Aku terkejut mendengar perkataan Alex. Bukankah tadi pagi Marc bilang akan latihan di dirt track bersama Alex. Kenapa Alex bilang tidak bertemu Marc, apa Marc bohong padaku?

"Apa katamu? Bukannya kalian latihan balap bersama?"

"Tidak. Itu tidak mungkin Ara, Marc kan sudah..." Alex menggantungkan kalimatnya.

"Sudah apa...?" Tanyaku tak sabar.

"Eh tidak, maksudku aku memang latihan bersama Marc. Ia pasti sudah dalam perjalanan pulang tunggulah sebentar lagi," detik berikutnya Alex sudah memutuskan sambungan telpon.

Ada apa dengannya? Kenapa buru-buru sekali memutuskan telpon. Apa ia dan Marc sekongkol menyembunyikan keberadaan Marc. Apa mungkin Marc sedang selingkuh di luar sana?

~♥~

Hujan belum berhenti juga. Satu jam berlalu sejak aku menelpon Alex. Alex bohong, nyatanya Marc belum kembali juga!  Hatiku terus menjerit meneriakan pertanyaan yang sama berulang-ulang 'dimana kau berada Marc?!'

Aku mulai resah... aku takut... apa yang terjadi pada Marc? Jangan-jangan terjadi sesuatu padanya.
Aku menyambar jaketku dan mengambil payung, lalu berlari ke luar rumah tanpa peduli lebatnya hujan membasahi bumi. Kakiku melangkah menuju kediaman orang tua Marc yang berjarak 3 block dari rumahku. Entah kenapa aku memiliki pirasat Marc ada di sana. Semoga aku benar.

Aku menggedor pintu rumah keluarga Marquez dengan tidak sabar. Tak lama, sesosok pria jangkung membukakanku pintu.

"Ara, hujan sangat lebat, untuk apa kau kemari?" Alex bicara agak nyaring karna suara guyuran hujan begitu berisik menelan suaranya.

"Aku mencari Marc!" tanpa diminta aku langsung masuk ke dalam rumah itu. "Marc?! Kau di sini?!"

"Maaarc?!" Teriaku di dalam rumah Marquez.

"Arabella, putra sulungku tidak ada di sini!!" Tiba-tiba muncul Mom Roser di hadapanku.

"Mom, Marc belum kembali sampai sekarang. Aku sangat mengkhawatirkannya," kataku pada Mom Roser, namun ia sama sekali tak menjawabku.

Mom Roser diam sejuta bahasa. Kemudian aku beralih pada Dad Julia di sebelahnya, "Dad, kau tau dimana Marc?! Aku tak bisa menemukannya, aku sudah mencoba menghubunginya namun nihil. aku takut terjadi apa-apa padanya! Aku..." PLAAAKK.

Sebuah tamparan mendarat di pipiku sebelum aku selesai bicara. Mom Roser yang melakukannya. Aku tercengang mengapa ia menamparku.

"Berhenti Ara!!" Teriak Mom Roser memancarkan raut wajah murka padaku. "Berhentilah bertingkah seolah Marc masih hidup!!"

Apa?!

~♥~

Tepat dua bulan yang lalu kecelakaan mobil dialami oleh Marc & Arabella. Kecelakaan tragis yang membuat Marc meregang nyawa. Nasip baik berpihak pada Arabella sang kekasih, ia selamat meski 2 minggu harus dirawat di rumah sakit. Semua orang pikir Arabella akan baik-baik saja, tapi ia tidak benar-benar baik.

Setelah keluar dari rumah sakit waktu seolah berhenti bagi Arabella. Ingatan tentang kecelakan itu telah hilang, ia sama sekali tidak mengetahui tentang kecelakaan itu dan baginya itu hanyalah mimpi. Ingatannya berhenti ketika saat dimana Marc masih hidup. Ia selalu merasa seolah Marc masih di sisinya.

Bagi Arabella setiap pagi akan selalu ada Marc menyapanya di tempat tidur. Tanpa menyadari itu hanyalah sosok ilusi tak nyata. Selama 2 bulan setiap pagi Arabella menjalani hidupnya bersama Marc 'khayalan'. Namun pada malam hari Arabella akan kehilangan Marc itu. Setiap malam ia cemas bukan kepalang mencari sosok Marc kesana kemari. Setiap malam pula Arabella mendatangi kediaman keluarga Marquez untuk mencari sosok sang kekasih yang sudah tidak ada di dunia itu.

Setiap malam Arabella yang sudah tak waras, mengadu ke rumah Marquez tentang kehilangan Marc tanpa tahu Marc sudah meninggal. Lama-lama keluarga Marquez sudah tak tahan.

Dengan raut wajah murka Mom Roser berteriak di hadapan Arabella, "Berhentilah bertingkah seolah Marc masih hidup!!" Ia sudah tak tahan melihat kelakuan -calon- menantunya itu.

"Apa yang kau katakan Mom? Marc memang masih hidup!" dengan penuh keyakinan Arabella berkata.

"Marc sudah meninggal, Ara. Relakan lah dia," Alex pun ikut ambil bicara, meyakinkan Arabella bahwa Marc Marquez sudah tidak ada di dunia ini. Alex sudah muak setiap malam Arabella terus menelponnya untuk mencari Marc.

"Tidaak!! Marc masih hidup!!" Arabella terus bersikeras, "Marc masih hidup!!!" dengan berlinang air mata ia terus menampik kenyataan Marc sudah tiada.

Roser menitikan air mata melihat calon menantu yang tidak pernah merelakan kepergian putranya.

"Maaarc!!! Kau dimana?! Jangan sembunyi dariku!!!" Arabella berlarian di dalam rumah berharap bisa menemukan Marc. Kemudian ia masuk ke bekas kamar milik Marc saat masih tinggal di sana.

"Oh Marc...," dengan langkah lunglai Arabella menuju kasur di kamar itu, seolah ia melihat Marc di sana, "rupanya kau sedang tidur."

Arabella duduk di sudut ranjang, "jangan pernah buat aku cemas Marc...," tangannya membelai-belai kaos bertulis baby champ yang tergeletak di atas kasur. Kaos tersebut merupakan kaos kebanggaan Marc ketika ia menjadi juara dunia termuda di motogp. Arabella memeluk kaos itu lalu merebahkan tubuhnya di kasur bekas peninggalan Marc, kemudian perlahan menutup matanya dan tertidur dengan damai.

~♥~

 'Cause I always saw in you my light, my strength
 And I want to thank you now for all the ways
 You were right there for me 
 For always 

Akh, dimana aku? Aku menerawang sekeliling malam yang penuh bintang di langit. Entah kenapa Aku bisa sedang berada di pantai dengan hamparan pasir putih, ada ribuan orang, bahkan jutaan orang berjalan di sekitarku dengan wajah tanpa ekspresi mereka semua melewatiku. Mereka semua menuju satu arah yang sama yaitu ke lautan. Apa yang mereka lakukan? Di tengah lautan mereka terus berjalan dan berjalan.

Tiba-tiba di sampingku lewat seseorang yang sangat kukenal. Ia juga menuju ke lautan. "Marc?" Aku mengejarnya sampai air laut mencapai lututku.

"Marc! Tunggu aku!" Ia mendengarku dan berhenti berjalan. Aku langsung memeluknya dari belakang, "kau mau kemana Marc?"

"Aku harus menyebrang," katanya singkat.

"Tapi kalau kau menyebrangi lautan itu kau bisa mati Marc!"

Lalu Marc berbalik menghadapku, "aku memang sudah mati, Ara. Semua orang yang ada di sini sudah mati. Dan orang yang sudah mati harus menyebrang ke sana."

"Kalau begitu aku ikut denganmu!"

"Kau masih memiliki sisa hidup di dunia, bukan saatnya kau menyebrang ke sana."

"Aku tidak bisa hidup di dunia tanpamu Marc, biarkan aku ikut denganmu menyebrangi lautan itu. Aku akan ikut kemanapun kau pergi."

Marc tersenyum simpul ke arahku, "baiklah jika itu maumu."

Marc menggandeng tanganku dan kami pun menyebrangi lautan itu bersama menuju alam yang kekal abadi.

 In my heart there always be a place for you for all my life 
 I’ll keep a part of you with me and everywhere I am there you’ll be

 -FIN-


(Song : Faith Hill - There You'll Be)


No comments:

Post a Comment